BAB I
PENDAHULAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Semakin mudahnya pengaturan mengenai pendirian
Badan Usaha baik yang berbadan hukum maupun bukan badan hukum
membuat para pelaku bisnis berlomba-lomba
mendirikan badan usaha unluk bersaing dengan para pesaing-pesaing bisnisnya. Begitu mudahnya dalam mendirikan badan usaha
tersebut, bahkan juga sangat mudah mendapalkan modal untuk
mendirikan badan usaha, menutupi kekurangan-kekurangannya, serta memenuhi kewajiban
dari badan usaha tersebut. Tetapi beberapa kendala yang dihadupi oleh
Perusahaan dalam
usaha adalah kemampuan untuk
memenuhi kewajiban pembayaran merek kepada para kreditornya, dimana apabila keadaan ini tidak segera
diseiesaikan akan member dampak yang lebih besar lagi. Bukan hanya mengenai kelangsungan usaha dan
sendi-sendi perekonomian nasional
pada umumnya, melainkan juga mengenai masalah ketenagakerjaan, hilangnya kesempatan kerja, timbulnya
kerawanan masalah-masalah sosial dan aspek-aspek lainnya yang secepatnya
memerlukan penyelesaian secara adil yang memperhatikan kepentingan PT atau badan usaha tersebut
baik yang berbentuk badan hukum
maupun perorangan sebagai debitor ataupun kepentingan kreditor secara seimbang.
Penyelesaian perkara utang-piutang di dalam dunia usaha memiliki peran yang sangat signifikan sebagai upaya
untuk memulihkan kegiatan usaha pada khususnya dan juga membantu meningkatkan perkembangan
perekonomian nasional pada
umumnya.
Oleh karena itu, dalam keadaan tersebut
diperlukan suatu aturan dan lembaga khusus yang bertujuan untuk menangani,
memeriksa, dan memutus perkara-perkara tertentu yang berkaitan
dengan masalah di atas di bidang perniagaan dengan mekanisme yang harus dilakukan dengan cepat, adil, terbuka, efisien,
dan sederhana untuk menciptakan
kepastian hukum. Hal ini dilatarbelakangi karena mekanisme sistem peradilan yang pada umumnya prususnya
memakan waktu yang cukup lama dan
tidaklah sederhana yang menimbulkan kurang efisiennya peran lembaga peradilan tersebut dalam memeriksa dan memutus suatu
perkara yang membutuhkan waktu yang lama. Hal ini sangat berntangan dengan Asas Peradilan yaitu ''Sederhana, Cepat, dan
Biaya
Ringan". Maka dari itu dibentuklah suatu lembga yang bertugas memeriksa, menangani, dan menyelesaikan masalah
utang-piutang tersebut yaitu adanya lembaga kepailitan
dan dibentuknya Pengadilan Niaga di bidang sengketa bisnis dan semacamnya. Landasan hukum yang digunakan untuk
menyelesaikan perkara utang-piutang tersebut adalah peraturan tentang
kepailitan yang di dalamnya termasuk juga peraturan mengenai penundaan
kewajiban pembayaran utang.
Lembaga hukum Kepailitan, bukan merupakan lembaga yang
baru sama sekali dalam sistem hukum Indonesia. Bahkan
dibandingkan beberapa negara maju di dunia, Indonesia sudah lebih awal memiliki peraturan
yang mengatur tentang kepailitan karena mewarisi Faillissementverordening
yang berasal dari Kolonial Hindia Belanda.[1]
Lembaga Kepailitan telah ada sejak zaman Hindia Belanda yang diatur dalam Verordening
op het Faillissement en de Surseance van Betaling de Europeanen in Nederlands
Indie (Faillissement Verordening/ FV), Staatsbtad 1905 Nomor 217 juncto
Staatsblad 1906 Nomor 348. Berdasarkan Staatsblad Nomor 348 Tahun
1906, maka Peraturan mengenai kepailitan mulai berlaku pada tanggal 1 November
1906 dan selanjutnya tidak berlaku lagi ketentuan-ketentuan lain dalam beberapa
peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya seluruh buku ketiga Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) beserta beberapa peraturan sebelumnya yang
diadakan untuk itu[2]
Terminologi kepailitan string dipaharr iak tepat oleh kalangan umum.
Sebagian dari mereka menganggap kepailitan sebagai von is yang berbau tindakan
kriminal serta merupakan suatu cacat hukum atas subjek hukum, karena itu
kepailitan harus dijauhkan serta dihindari sebisa mungkin. Oleh karena itu,
kepailitan sering diidentikan sebagai pengemplangan utang atau penggelapan
terhadap hak-hak yang seharusnya dibayarkan kepada kredilor.[3]
Kepailitan adalah merupakan pelaksanaan lebih lanjut
dari prinsip paritas creditorium dan prinsip paripassupro rataparte dalam
rezim hukum harta kekayaan {vermogensrechts). Prinsip paritas creditorium berarti bahwa semua
kekayaan debitor baik yang berupa barang bergerak atau
pun barang tidak bergerak maupun harta
yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang-barang di kemudian hari akan
dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban debitor.[4]
Sedangkan prinsip pari passu prorata parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merapakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya hams dibagikan
secara proporsional antara mereka, kecuali apabila
antara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang hams didahulukan dalam mencrima pembu varan tagihannya.
Di dalam kepailitan, subjek yang dapat
dimohonkan pailit adalah setiap subjek
hukum. Subjek hokum itu sendiri mtimpunyai pengertian dimana setiap pihak yang memiliki hak dan kewajiban dalam melakukukan hubungan hukum. Di dalam ilmu hukum itu sendiri subjek
hukum itu ada dua, yaitu :
1.
Manusia sebagai natuurlijk pcrsoon, yaim
subjek hukum alamiah dan bukan hasil kreasi
manusia melainkan kodrai alum:
2.
Badan Hukum sebagai rechtpersoon, yaitu
subjek hukum yang merupakan hasil kreasi
hukum.
Salah satu contoh badan hukum yang banyak kita temui di
masyarakat adalah Perseroan
Terbatas. Perseroan terbatas
tidak dapat menjalankan
hak dan kewajibannya sendiri, tetapi hams dibantu oleh organ-organ
penting di dalamnya. Perseroan terbatas memiliki 3 (tiga) unsur
atau organ, yaitu direksi, komisaris, dan Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) yang mempunyai tugas dan dan wewenang tersendiri untuk menjalankan perseroan terbatas tersebut.
Sama halnya seperti orang biasa atau setiap
individu, perseroan terbatas juga pasti memiliki utang terhadap seorang atau lebih (creditor untuk menunjang dan
meningkatkan kegiatan usahanya serta untuk mempertahankan eksislensinya di
tengah masyarakat. Apabila perseroan terbatas tidak dapat mempertahankan
eksistensinya, maka perseroan tersebut akan mengalami
kebangkrutan dan bcrujung kepada bubarnya perseroan tersebut. Dengan kebangkruian alau pun bubarn '
' perseroan terbatas akan berdampak
kepada para kredilor yang dimiliki. Ada beberapa perseroan terbatas yang tidak mampu membayar utang-uiangnya ken1 editornya,
bahkan ada juga yang
menghindari pembayaran dan pclunasan utang-utang para kreditomya. Dengan
ketidakmampuan PT tersebut untuk membuyar utang-utangnya, maka para kreditor menempuh jalan dengan cara mengajukan
permohonan pailit kepada PT yang bersangkutan untuk membayar utang-utangnya. Tetapi dalam kasus seperti
ini, ada beberapa PT yang
saat diajukan permohonan pailit ternyata PT tersebut sedang dalam proses likuidasi atau akan dibubarkan,
telah tidak ada lagi eksistensinya atau bahkan telah bubar. Ada beberapa kasus yang telah terjadi dan telah diputus oleh pengadilan
yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), yaitu misalnya sengketa antara Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN) melawan PT Muara Alas Prima dimana Pengadilan Niaga
menolak permohonan pailit BPPN terhadap PT MAP, meskipun di dalam kasasi MA membatalkan putusan
Pengadilan Niaga dan menyatakan
PT MAP dapat dimohonkan pailit walaupun dalam likuidasi.
Tetapi di dalam kasus LG Electronic Inc. (LGEI) melawan
LG Bangunindo Eelctronic (LGBE), Pengadilan Niaga dalam
putusannya menolak permohonan pailit PT. LGEI terhadap PT. LGBE. Pada saat
diajukan kasasi pun MA tetap menolak permohonan pailit tersebut dan scpcndapat
dengan Majelis Hakim Pengadilan Niaga.
Hal tersebut di atas merupakan dua hal yahg
sangat kontradiktif dan bertolak belakang
satu sama lain. Maka dari itu dari latar belajcang tersebut maka cukup menarik
untuk dibahas mengenat pcrmasalaha. di atas. Bagaimanakah seharusnya mempertimbngkn permohonan pailit
diajukan terhadap PT
yang sedang dalam
likuidasi dan Berdasarkan atas uraian yang telah dijabarkan di atas, maka penulis
tertarik untuk menulis skripsi dengan judul “PENGAJUAN PERMOHONAN PILIT TERHADAP PT YNG SEDANG DALAM PROSES LIKUIDASI”
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan yang akan dibahas di dalam
skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana status badan hukum PT dalam proses
likuidasi?
2.
Apakah PT dalam likuidasi dapat dipailitkan?
C.
Alasan
Pemilihan Judul
Kepailitan merupakan suatu lembaga yang bertujuan untuk
menyelesaikan kewajiban-kewajiban debitor terhadap para
kreditornya yang lebih efektif, efisien dan mengutamakan keadilan para pihak.
Dengan adanya lembaga kepailitan ini diharapkan agar para debitor yang memiliki
permasalahan utang-piutang, dapat segera diselesaikan dengan cepat dan
sederhana tanpa proses yang memakan waktu lama seperti di pengadilan pada
umumnya.
Suatu PT yang memiliki permasalahan utang-piutang dan
sedang mengalami kebangkrutan perlu sebuah mekanisme untuk melakukan pelunasan
pembayaran utang-utang yang dimiliki terhadap para kreditornya.
Seorang kreditor juga memiliki kepentingan terhadap PT
tersebut karena masih memiliki kewajiban kepada dirinya berupa pelunasan
utang-utangnya yang masih belum dibayari. Jadi seorang kreditor membutuhkan
lembaga kepailitan ini utuk membantunya mendapatkan kembali haknya dari PT
tersebut sebagai debitornya dengan proses yang cepat, mudah dan sederhana.
Tetapi bagaimanakah apabila ternyata ketika seorang
kreditor yang hendak mengajukan permohonan pailit kepada PT tersebut, PT yang
bersangkutan telah dalam proses likuidasi yang berarti PT tersebut hendak
bubar? Oleh karena itu, penulisan judul ini adalah untuk mengkaji lebih lanjut
bagaimanakah apabila hal itu terjadi, dan untuk mengetahui apakah yang harus
dilakukan apabila hal tersebut memang terjadi.
D. Tujuan penulisan yang hendak dicapai dalam penyusunan skripsi ini adalah :
1.
Untuk mengetahui Bagaimana PT dalam proses
Likuidasi
2.
Untuk mengkaji dan menganalisis apakah PT
ketika dalam Likuidasi dapat dipailitka
E. Metode Penulisan
Metode
penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini secara keseluruhan menggunakan beberapa hal berikut ini:
1.
Pendekatan Masalah
Pcndekatan masalah yang digunakan dalam proses penyusunan
skripsi ini adalah Statute Approach, Conceptual
Approach, dan Case Approach. Statute Approach atau pendekaian
undang-undang adalah suatu pendekatan yang digunakan
untuk mengkaji sesuai permasalahn permasai dari segi hukum dengan mendasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas yaitu mengenai
kepailitan dan Lkuidasi dalam proses pembubaran
suatu PT.
Kemudian Conceptual Approach atau pendekatan
konseptual adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk mengkaji
permasalahan dari segi konsep hukum dengan
menggunakan prinsip-prinsip hukum yang selama ini telah didapat dan ditemukan,
serta pendapat atau pandangan-pandangan para sarjana hukum mengenai konsep
kepailitan dan Hkuidasi suatu PT, serta prinsip-prinsip apa saja yang terdapat
di dalamnya.
Sedangkan Case Approach atau pendekatan kasus
adalah pendekatan yang digunakan untuk mengkaji permasalahan
tersebut dari segi kasus di dunia nyata yang
telah terjadi dan telah diputus yang berkekuatan hukum tetap {inkracht van gewijsde). Di dalam
putusan tersebut terdapat pertimbangan-pertimbangan hukum dari majelis hakim untuk menjatuhkan putusan terhadap
permasalahan yang bersangkutan tersebut.
2. Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum
yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dilakukan
dengan menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu metode yang menjelaskan suatu permasalahan dengan menguraikan
dan memaparkan yang kemudian
dianalisa sesuai dengan pcraturan pcrundang-undangan yang berlaku dan teori hukum. konsep hukuni, scrlu teori atau
prinsip-prinsip hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.
F.
Tinjauan Pustaka
Kepailitan
merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan
untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini adalah
pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya,
Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.[5]
Pailit dapat diartikan debitor dalam keadaan berhenti
membayar hutang karena tidak mampu. Kata Pailit dapat juga diartikan sebagai Bankcrupt.
Kata Bankrupt sendiri mengandung arti Banca Ruta, dimana kata
tersebut bermaksud memporak-porandakan kursi-kursi, adapun sejarahnya mengapa
dikatakan demikian adalah karena dahulu suatu peristiwa dimana terdapat seorang
debitor yang tidak dapat membayar hutangnya kepada kreditor, karena marah sang
kreditor mengamuk dan menghancurkan seluruh kursi-kursi yang terdapat di tempat
debitor.[6]
Sedangkan Pengertian Kepailitan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 adalah sita umum terhadap semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh seorang kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana yang diatur oleh Undang-undang. Kartono sendiri memberikan pengertian bahwa kepailitan adalah sita umum dan eksekusi terhadap semua kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditornya.
Sedangkan Pengertian Kepailitan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 adalah sita umum terhadap semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh seorang kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana yang diatur oleh Undang-undang. Kartono sendiri memberikan pengertian bahwa kepailitan adalah sita umum dan eksekusi terhadap semua kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditornya.
Terminologi Kepailitan dalam Sistem hukum Anglo-Saxon
dikenal dengan kata Bankrupct adapun hal itu berarti keadaan tidak mampu
membayar hutan dimana semua harta kekayaan yang berhutang diambil oleh penagih
atau persero-persero
menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “pembubaran perusahaan sebagai badan
hukum yang meliputi pembayaran kewajiban kepada para kreditor dan pembagaian
harta yang tersisa kepada para pemegang saham (Persero)”. Menurut
Kamus Perbankan, likuidasi adalah pembubaran perusahaan dengan penjualan harta
perusahaan, penagihan piutang, dan perlunasan utang serta penjelasan sisa harta
atau utang antara para pemilik.[7]Sedangkan
dalam Kamus Istilah Perbankan Indonesia, likuidasi bank adalah tindakan
pemberesan berupa penyelesaian seluruh hak dan kewajiban bank sebagai akibat
pembubaran badan hukum bank.[8]
Likuidasi dilakukan dengan cara pencairan harta dan/atau penagihan piutang
kepada para debitur, diikuti dengan pembayaran kewajiban bank kepada para
kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan tersebut. Selain itu, likuidasi
bank dapat dilakukan dengan cara penjualan seluruh harta dan pengalihan
kewajiban kepada pihak lain dengan persetujuan Bank Indonesia.[9]
Menurut Zainal Asikin dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum
Perbankan di Indonesia, menyebutkan likuidasi sebagai suatu tindakan untuk
membubarkan suatu perusahaan atau badan hukum. Menurut Sutan Remy Sjahdeini,
“Likuidasi adalah tindakan pemberesan terhadap harta kekayaan atau aset
(aktiva) dan kewajiban-kewajiban (pasiva) suatu perusahaan sebagai tindak
lanjut dari bubarnya perusahaan.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, likuidasi merupakan
proses membubarkan perusahaan sebagai badan hukum yang meliputi pembayaran
kewajiban kepada para kreditor dan pembagian harta yang tersisa kepada para
pemegang saham (persero).[10]
Definisi ini hampir sama dengan definisi liquidation dalam kamus hukum
ekonomi ELIPS yang memberikan pengertian likuidasi sebagai pembubaran
perusahaan diikuti dengan proses penjualan harta perusahaan, penagihan piutang,
pelunasan utang, serta penyelesaian sisa harta atau utang antara pemegang saham.
Black’s Law Dictionary
memberikan definisi likuidasi : “Liquidation is (1) the act of
determining by agreement or by litigation the exact amount of something (as
debt or damages) that before was not certain (2) The act of settling a debt by
payment or other satisfaction (3) The act or process of converting asets into
cash, to settle debts.\ .
Definisi
tersebut di atas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan likuidasi
adalah :
1)
Tindakan menentukan dengan kesepakatan atau melalui litigasi jumlah secara
pasti (sebagai hutang atau biaya) yang sebelumnya tidak pasti;
2)
Tindakan menyelesaikan hutang piutang dengan cara pembayaran ataupun cara lain;
3)
Tindakan atau proses penggantian aset menjadi kas/uang tunai untuk
menyelesaikan hutang piutang.
Menurut
McPherson sebagaimana dikutip oleh Francisca PoPeraturan Pemerintahy Melati,
pengertian likuidasi dapat dilihat dalam kutipan berikut ini :[11]
“Liquidation
or winding up is a process whereby the asets of a company are collected and
realized, the resulting proceeds are aPeraturan Pemerintahlied in discharging
all its debts and liabilities, and any balance which remains after paying the
costs and expencses of winding up is distributed amount the members according
to their rights and interests or otherwise dealth with as the constitution of
the company directs.”
Definisi di atas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
likuidasi atau penutupan adalah suatu proses dimana aset-aset perusahaan
dikumpulkan, hasil pengumpulan tersebut digunakan untuk memenuhi
hutang dan kewajiban, dan saldo yang tersisa atas pembayaran beban dan
biaya dari penutupan akan diberikan kepada pemegang saham.
Menurut
Rachmadi Usman, Liquidation adalah pembubaran perusahaan diikuti dengan
proses penjualan harta perusahaan, penagihan piutang, pelunasan utang, serta
penyelesaian sisa harta atau utang antara para pemegang saham.[
Sedangkan
dalam “Encyclopedia of Banking and Finance”, istilah likuidasi mempunyai
3 (tiga) arti :
1.
Pertama, likuidasi berarti realisasi tunai, artinya penjualan
kepemilikan saham, obligasi atau komoditas baik untuk memperoleh laba maupun
mengantisipasi ataupun menghindari kerugian-kerugian karena harga lebih rendah.
Biasanya likuidasi merujuk kepada lebih memperpanjang dari suatu periode yang
telah ditentukan. Dalam hal seperti ini, bentuk-bentuk likuidasi merupakan
bagian dari siklus bisnis yang terutama ditandai dengan jatuhnya harga,
kegagalan usaha dan tidak aktifnya usaha.
2.
Kedua, likuidasi berarti pengakhiran suatu perusahaan dengan
cara pengkonversian aset-asetnya menjadi uang tunai. Pendistribusian hasil dari
pengkonversian tersebut pertama kepada para kreditur sesuai dengan urutan yang
diutamakan dan sisanya kalau ada kepada para pemilik perusahaan tersebut sesuai
dengan proporsi kepemilikannya.
3.
Ketiga, likuidasi berarti suatu cara penyembuhan yang tersedia
bagi debitur yang tidak bisa membayar kewajiban-kewajibannya atau disebut Insolvensy.
Likuidasi mempunyai tujuan dasar berupa realisasi dari aset-asetnya dan
kewajiban-kewajibannya, ketimbang kesinambungan usaha sebagaimana yang bisa
terjadi dalam suatu reorganisasi, Insolvensy menunjuk kepada
ketidakmampuan debitur untuk membayar kewajiban-kewajibannya yang sudah jatuh
tempo.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dalam Pasal 37 dan
37A maupun penjelasannya tidak memberikan perumusan istilah, definisi, karakter
(ciri-ciri), dan struktur hukum dari “likuidasi”. Apabila diteliti, maka
pengertian likuidasi tidak terbatas pada pencabutan izin usaha bank akan tetapi
lebih luas lagi termasuk tindakan pembubaran (outbinding) badan hukum
bank dan penyelesaian atau pemberesan (vereffening) seluruh hak dan
kewajiban bank sebagai akibat dibubarkannya badan hukum bank tersebut atau dari
bank yang dilikuidasi sesuai peraturan perUndang-undangan yang berlaku dan
terakhir dilakukan penyelesaian terhadap seluruh hak dan kewajiban yang
ditimbulkan oleh bank yang dilikuidasi tersebut. Dengan demikian istilah
likuidasi ini mencakup lembaga pembubaran dan pemberesan.[9][12]
Dalam
Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan
Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank serta Pasal 1 huruf h Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Tentang Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan
Likuidasi Bank Umum Nomor 32/53/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999, dinyatakan bahwa
likuidasi bank adalah tindakan penyelesaian seluruh hak dan kewajiban bank sebagai
akibat pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum bank.
Sedangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang yaitu
pasal 56, tidak mempergunakan istilah “likuidasi”, tetapi menggunakan dua
istilah yang satu sama lain berkaitan, yaitu “pembubaran” dan “pemberesan”. BW
Belanda (Pasal 19 ayat (4)) mempergunakan istilah pembubaran (outbinding)
dan pemberesan (vereffening). Dalam sistem Common Law (Banking Act
Singapore 1985), dipergunakan istilah “winding up” di samping “liquidation”.
Likuidasi atau pembubaran juga diartikan sebagai pemberhentian kegiatan
perseroan sebagai akibat dari berakhirnya tujuan perseroan. Pembubaran tidak
berarti berakhirnya eksistensi perseroan, dimana perseroan sebagai subyek hukum
yang mempunyai aktiva dan pasiva yang setelah deklarasi pembubarannya diucapkan
eksistensinya tetap ada tetapi dalam kondisi likuidasi (pembubaran). Hak yang
dimiliki perseroan harus direalisasikan dan kewajibannya harus dipenuhi dan
selama kondisi likuidasi, perseroan tidak menjalankan tugas biasa, tetapi
terbatas yaitu khusus untuk membereskan hak dan kewajiban itu. Eksistensi
perseroan tetap ada sepanjang diperlukan untuk pemberesan.[13]
G.
Sistematika Pertanggungjawaban
Sistemutika di
dalam penulisan skripsi ini meliputi empat bab, yang di dalam masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab yang
menjelaskan mengenai materi permasalahan yang
dibahas dan masing-masing bab saling berkaitan satu sama lain. Hal ini ditujuka agar penulisan skripsi menjadi satu
kesatuan yang tidak terpisahkan.
Bab I : adalah bab pendahuluan yang di dalamnya
berisi gambaran secara gar is besar tentang isi
dari permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini yaitu mengenai latar belakang
permasalahan dan rumusan masalahnya, penjelasan judul, alasan pemilihan judul,
tujuan penulisan, metode penulisan, serta pertanggungjawaban sistematika penulisan skripsi ini.
Bab II :adalah
bab yang menjelaskan pembahasan dari rumusan masalah pertama yang ada. Bab II
ini terdiri atas bab mengenai status hukum PT dalam likuidasi, dimana dalam bab ini terdiri atas sub bab
badan hukum PT, Pembubaran PT, Likuidasi PT
yang dibubarkan, dan Eksistensi PT dalam likuidasi.
Bab III :
adalah bab yang di dalamnya menjelaskan pembahasan dari rumusan masalah yang kedua. Dalam bab III ini terdiri atas bab
mengenai kepailitan terhadap PT dalam likuidasi
yang dalam bab tersebut terdiri atas sub bab permohonan PT dalam likuidasi, perbedaan pembubaran PT dengan
likuidasi dan dengan kepailitan, dan
kasus kepailitan PT dalam likuidasi.
|
Bab IV :
merupakan bab terakhir yang menjadi bab penutup dalam skripsi ini yang terdiri atas kesimpulan dari penulisan skripsi ini
seita saran-saran dari penulis yang berkaitan
dengan permasalahan yang dibahas dan diharapkan dapat berguna dan menambah pengetahuan bagi para pembaca.
[2]
M. Hadi Shuban, Hukum kepailitan Prinsip, Norma dan
Praktik di Peradilan, kencana perenda Media Group, Jakarta, 2009, h, 5-6
[3]
Ibid h.2
[4]
Ibid h.168
[6]
Siti Soemarti Hartono 2008
[8]
Tim
Penyusun Kamus Perbankan Indonesia, Kamus Perbankan, Jakarta, Institut
Bankir Indonesia, 1980, hlm. 77
[9]
Z. Dunil, Kamus Istilah
Perbankan Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2004, hlm. 80
[10]
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta, Balai Pustaka, 1990, hlm. 523. Definisi tersebut sama dengan definisi
mengenai
[11]
Fransisca PoPeraturan Pemerintahy Melati, Likuidasi
Bank dan Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpan Dana, Jakarta, Tesis
Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, 2004, hlm.
[12]
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum
Perbankan, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika,
[13]
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka
Hukum Bisnis, Cet. I, Bandung, Alumni, 1994, hlm. 124.
0 comments:
Post a Comment