ASAS CABOTAGE
(Inpres No.5 Tahun 2005)
Berlakunya United Nation Conventian On The Law Of The Sea (UNCLOS 1982)
konfigurasi perairan Indonesia meliputi ; perairan pedalaman (internal
water), perairan kepulauan (archipelagic water), laut wilayah
(territorial sea), zona tambahan (contiguous zone), landas kontinen
(continental shelf) dan zona ekonomi eksklusif (zona economi exclusive).
Wilayah laut yang menjadi kedaulatan Indonesia adalah Perairan
kepulauan seluas 2,8 juta km2 dan laut wilayah seluas 0,366 juta km2.
sedangkan zona ekonomi esklusif seluas 2,7 juta km2. dengan demikian
luas wilayah yurisdiksi laut nasional Indonesia adalah 5,8 juta km2.
Bagi bangsa Indonesia, laut dan perairan secara alami menjadi lingkungan
kehidupan yang mempunyai arti/fungsi sebagai : (1) media pemersatu
bangsa, (2) media perhubungan (3) media penggalian sumberdaya alam dan
(4) media pertahanan (Soebijanto, 2004: 51-52).
Kenyataan geografis Indonesia merupakan negara kepulauan, dimana antara
pulau satu dengan pulau lainya dihubungkan oleh laut dan selat. Gambaran
ini setidaknya menempatkan sektor kelautan menjadi sektor penting. Dari
sudut ekonomi pentingnya laut dapat dilihat dari : (1) potensi
sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya dan (2) potensi pemanfaatan
laut sebagai prasarana transportasi antar pulau (Hamid, 2004:28). Dari
kedua potensi tersebut, potensi kedua yakni pemanfaatan laut sebagai
prasarana transportasi menjadi potensi yang paling penting jika
berbicara masalah pelayaran nasional. Karena angkutan laut sangat
dominan dan memiliki nilai strategis yang mendasar dalam arti ekonomi
bagi kehidupan bangsa dan negara Republik Indonesia (Sinaga, 1995:20).
Pentingnya trasportasi tercermin pada penyelenggaraannya yang
mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara serta semakin
meningkatnya kebutuhan jasa angkutan bagi mobilitas manusia dan barang
dalam negeri serta dari dan ke luar negeri. Di samping itu, traspotarsi
juga berperan sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak bagi
pertumbuhan daerah yang berpotensi namun belum berkembang, dalam upaya
peningkatan dan pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya.
Kelancaran transportasi, dapat mendukung dan membantu pemantapan kawasan
wilayah Indonesia dalam rangka perwujudan wawasan nusantara dan
membantu pencapaian sasaran pembangunan nasional di bidang politik,
ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan serta merangsang
pembangunan daerah melalui pengembangan potensi ekonomi (Siregar,
1981:118).
Peranan transportasi dalam perekonomian Indonesia cukup signifikan.
Sebagai contoh pada tahun 2002, lebih dari 99 persen kegiatan
ekspor-impor sebesar 296 juta ton dan 95 persen dari ekspor-impor
tersebut senilai US $ 88,4 miliar diangkut dengan mengunakan
transportasi laut. Potensi pasar yang begitu besar bagi armada pelayaran
nasional di angkutan ekspor-impor sebesar 296 juta ton dan juga
angkutan dalam negeri sebanyak 143,4 juta ton, belum sepenuhnya
dimanfaatkan oleh armada pelayaran nasional. (RPJMN, 2005:403). Melihat
kondisi pelayaran nasional yang demikian, maka optimalisasi potensi laut
sebagai prasarana transportasi/pelayaran menjadi sangat penting untuk
dilakukan, yang setidaknya melibatkan kepaduan peran antara pemerintah
sebagai pembuat keputusan (decision maker) dan perusahaan pelayaran
nasional yang dipercaya melakukan berbagai aktivitas pelayaran di
Indonesia.
Dalam rangka menjamin terlaksananya pelayaran nasional dan kemajuan
pelayaran nasional, pemerintah sebagai pembuat keputusan telah
mengeluarkan beberapa peraturan perundangan dalam berbagai bentuk, di
antaranya adalah : PP 17/1988 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan
Angkutan Laut, yang kemudian diganti PP 82/1999 tentang Angkutan di
Perairan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1992 tentang
Pelayaran, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM. 33 Tahun 2001
tentang Penyelengaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut, Instruksi Presiden
Republik Indonesia No. 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri
Pelayaran Indonesia dengan menerapkan asas cabotage dan Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor : KM. 71 Tahun 2005 pengangkutan
barang/muatan antarpelabuhan laut di dalam negeri.
Asas cabotage merupakan sebuah asas yang mengandung makna bahwa muatan
dalam negeri harus diangkut dengan menggunakan jasa angkutan dari
kapal-kapal nasional milik perusahaan nasional (Hamid, 2004:31). Hal ini
dilakukan sebagai upaya untuk memberikan perlindungan dan usaha dalam
negeri serta mengurangi ketergantungan pada pihak asing (Ibid, 2004:32).
Namun terpuruknya peran armada pelayaran nasional dalam mengangkut
muatan untuk angkutan dalam negeri, maka pemerintah memberi
kelonggaran/mengijinkan kepada perusahaan angkutan laut nasional untuk
menggunakan kapal asing dengan berbagai persyaratan, walaupun dalam
undang-undang dan peraturan lainya secara eksplisit diberlakukan asas
cabotage.
Dikeluarkan Inpres No.5 Tahun 2005 dan Permenhub No. KM 71 Tahun 2005
secara tegas dinyatakan bahwa muatan antar pelabuhan di dalam negeri
harus diangkut dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang
dioperasikan oleh perusahaan angkutan laut nasional. Implementasi asas
cabotage sesuai Inpres No 5 Tahun 2005 tersebut harus dilaksanakan
dengan optimal untuk melindungi pelayaran dalam negeri dan perekonomian
Indonesia
Thursday, 11 April 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment