PENGAJUAN PERMOHONAN PILIT | BLOG HUKUM

Sedang Online

Sunday 24 May 2015

PENGAJUAN PERMOHONAN PILIT

BAB I
                                                     PENDAHULAN

A.    Latar Belakang Masalah
Semakin mudahnya pengaturan mengenai pendirian Badan Usaha baik yang berbadan hukum maupun bukan badan hukum membuat para pelaku bisnis berlomba-lomba mendirikan badan usaha unluk bersaing dengan para pesaing-pesaing bisnisnya. Begitu mudahnya dalam mendirikan badan usaha tersebut, bahkan juga sangat mudah mendapalkan modal untuk mendirikan badan usaha, menutupi kekurangan-kekurangannya, serta memenuhi kewajiban dari badan usaha tersebut. Tetapi beberapa kendala yang dihadupi oleh Perusahaan dalam usaha adalah kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran merek kepada para kreditornya, dimana apabila keadaan ini tidak segera diseiesaikan akan member dampak yang lebih besar lagi. Bukan hanya mengenai kelangsungan usaha dan sendi-sendi perekonomian nasional pada umumnya, melainkan juga mengenai masalah ketenagakerjaan, hilangnya kesempatan kerja, timbulnya kerawanan masalah-masalah sosial dan aspek-aspek lainnya yang secepatnya memerlukan penyelesaian secara adil yang memperhatikan kepentingan PT atau badan usaha tersebut baik yang berbentuk badan hukum maupun perorangan sebagai debitor ataupun kepentingan kreditor secara seimbang. Penyelesaian perkara utang-piutang di dalam dunia usaha memiliki peran yang sangat signifikan sebagai upaya untuk memulihkan kegiatan usaha pada khususnya dan juga membantu meningkatkan perkembangan perekonomian nasional pada umumnya.
Oleh karena itu, dalam keadaan tersebut diperlukan suatu aturan dan lembaga khusus yang bertujuan untuk menangani, memeriksa, dan memutus perkara-perkara tertentu yang berkaitan dengan masalah di atas di bidang perniagaan dengan mekanisme yang harus dilakukan dengan cepat, adil, terbuka, efisien, dan sederhana untuk menciptakan kepastian hukum. Hal ini dilatarbelakangi karena mekanisme sistem peradilan yang pada umumnya prususnya memakan waktu yang cukup lama dan tidaklah sederhana yang menimbulkan kurang efisiennya peran lembaga peradilan tersebut dalam memeriksa dan memutus suatu perkara yang membutuhkan waktu yang lama. Hal ini sangat berntangan dengan  Asas Peradilan yaitu ''Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan". Maka dari itu dibentuklah suatu lembga yang bertugas memeriksa, menangani, dan menyelesaikan masalah utang-piutang tersebut yaitu adanya lembaga kepailitan dan dibentuknya Pengadilan Niaga di bidang sengketa bisnis dan semacamnya. Landasan hukum yang digunakan untuk menyelesaikan perkara utang-piutang tersebut adalah peraturan tentang kepailitan yang di dalamnya termasuk juga peraturan mengenai penundaan kewajiban pembayaran utang.
Lembaga hukum Kepailitan, bukan merupakan lembaga yang baru sama sekali dalam sistem hukum Indonesia. Bahkan dibandingkan  beberapa negara maju di dunia, Indonesia sudah lebih awal memiliki peraturan yang mengatur tentang kepailitan karena mewarisi Faillissementverordening yang berasal dari Kolonial Hindia Belanda.[1] Lembaga Kepailitan telah ada sejak zaman Hindia Belanda yang diatur dalam Verordening op het Faillissement en de Surseance van Betaling de Europeanen in Nederlands Indie (Faillissement Verordening/ FV), Staatsbtad 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad 1906 Nomor 348. Berdasarkan Staatsblad Nomor 348 Tahun 1906, maka Peraturan mengenai kepailitan mulai berlaku pada tanggal 1 November 1906 dan selanjutnya tidak berlaku lagi ketentuan-ketentuan lain dalam beberapa peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya seluruh buku ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) beserta beberapa peraturan sebelumnya yang diadakan untuk itu[2]
Terminologi kepailitan string dipaharr            iak tepat oleh kalangan umum. Sebagian dari mereka menganggap kepailitan sebagai von is yang berbau tindakan kriminal serta merupakan suatu cacat hukum atas subjek hukum, karena itu kepailitan harus dijauhkan serta dihindari sebisa mungkin. Oleh karena itu, kepailitan sering diidentikan sebagai pengemplangan utang atau penggelapan terhadap hak-hak yang seharusnya dibayarkan kepada kredilor.[3]
Kepailitan adalah merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium dan prinsip paripassupro rataparte dalam rezim hukum harta kekayaan {vermogensrechts). Prinsip paritas creditorium berarti bahwa semua kekayaan debitor baik yang berupa barang bergerak atau pun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban debitor.[4] Sedangkan prinsip pari passu prorata parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merapakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya hams dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali apabila antara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang hams didahulukan dalam mencrima pembu varan tagihannya.
Di dalam kepailitan, subjek yang dapat dimohonkan pailit adalah setiap subjek hukum. Subjek hokum itu sendiri mtimpunyai pengertian dimana setiap pihak yang memiliki hak dan   kewajiban dalam melakukukan  hubungan hukum. Di dalam ilmu hukum itu sendiri subjek hukum itu ada dua, yaitu :
1.            Manusia sebagai natuurlijk pcrsoon, yaim subjek hukum alamiah dan bukan hasil kreasi manusia melainkan kodrai alum:
2.            Badan Hukum sebagai rechtpersoon, yaitu subjek hukum yang merupakan hasil kreasi hukum.

Salah satu contoh badan hukum yang banyak kita temui di masyarakat adalah Perseroan   Terbatas.   Perseroan   terbatas   tidak   dapat   menjalankan   hak   dan kewajibannya sendiri, tetapi hams dibantu oleh organ-organ penting di dalamnya. Perseroan terbatas memiliki 3 (tiga) unsur atau organ, yaitu direksi, komisaris, dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang mempunyai tugas dan dan wewenang tersendiri untuk menjalankan perseroan terbatas tersebut. Sama halnya seperti orang biasa atau setiap individu, perseroan terbatas juga pasti memiliki utang terhadap seorang atau lebih (creditor untuk menunjang dan meningkatkan kegiatan usahanya serta untuk mempertahankan eksislensinya di tengah masyarakat. Apabila perseroan terbatas tidak dapat mempertahankan eksistensinya, maka perseroan tersebut akan mengalami kebangkrutan dan bcrujung kepada bubarnya perseroan tersebut. Dengan kebangkruian alau pun bubarn ' ' perseroan terbatas akan berdampak kepada para kredilor yang dimiliki. Ada beberapa perseroan terbatas yang tidak mampu membayar utang-uiangnya ken1 editornya, bahkan ada juga yang menghindari pembayaran dan pclunasan utang-utang para kreditomya. Dengan ketidakmampuan PT tersebut untuk membuyar utang-utangnya, maka para kreditor menempuh jalan dengan cara mengajukan permohonan pailit kepada PT yang bersangkutan untuk membayar utang-utangnya. Tetapi dalam kasus seperti ini, ada beberapa PT yang saat diajukan permohonan pailit ternyata PT tersebut sedang dalam proses likuidasi atau akan dibubarkan, telah tidak ada lagi eksistensinya atau bahkan telah bubar. Ada beberapa kasus yang telah terjadi dan telah diputus oleh pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), yaitu misalnya sengketa antara Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) melawan PT Muara Alas Prima dimana Pengadilan Niaga menolak permohonan pailit BPPN terhadap PT MAP, meskipun di dalam kasasi MA membatalkan putusan Pengadilan Niaga dan menyatakan PT MAP dapat dimohonkan pailit walaupun dalam likuidasi.
Tetapi di dalam kasus LG Electronic Inc. (LGEI) melawan LG Bangunindo Eelctronic (LGBE), Pengadilan Niaga dalam putusannya menolak permohonan pailit PT. LGEI terhadap PT. LGBE. Pada saat diajukan kasasi pun MA tetap menolak permohonan pailit tersebut dan scpcndapat dengan Majelis Hakim Pengadilan Niaga.
Hal tersebut di atas merupakan dua hal yahg sangat kontradiktif dan bertolak belakang satu sama lain. Maka dari itu dari latar belajcang tersebut maka cukup menarik untuk dibahas mengenat pcrmasalaha.                                                                                               di atas. Bagaimanakah seharusnya mempertimbngkn permohonan pailit diajukan terhadap PT yang sedang dalam likuidasi dan Berdasarkan atas uraian yang telah dijabarkan di atas, maka penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul “PENGAJUAN PERMOHONAN PILIT TERHADAP PT YNG SEDANG DALAM PROSES LIKUIDASI”
                                                                                                          
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.              Bagaimana status badan hukum PT dalam proses likuidasi?
2.              Apakah PT dalam likuidasi dapat dipailitkan?

C.     Alasan Pemilihan Judul 
Kepailitan merupakan suatu lembaga yang bertujuan untuk menyelesaikan kewajiban-kewajiban debitor terhadap para kreditornya yang lebih efektif, efisien dan mengutamakan keadilan para pihak. Dengan adanya lembaga kepailitan ini diharapkan agar para debitor yang memiliki permasalahan utang-piutang, dapat segera diselesaikan dengan cepat dan sederhana tanpa proses yang memakan waktu lama seperti di pengadilan pada umumnya.
Suatu PT yang memiliki permasalahan utang-piutang dan sedang mengalami kebangkrutan perlu sebuah mekanisme untuk melakukan pelunasan pembayaran utang-utang yang dimiliki terhadap para kreditornya.
Seorang kreditor juga memiliki kepentingan terhadap PT tersebut karena masih memiliki kewajiban kepada dirinya berupa pelunasan utang-utangnya yang masih belum dibayari. Jadi seorang kreditor membutuhkan lembaga kepailitan ini utuk membantunya mendapatkan kembali haknya dari PT tersebut sebagai debitornya dengan proses yang cepat, mudah dan sederhana.
Tetapi bagaimanakah apabila ternyata ketika seorang kreditor yang hendak mengajukan permohonan pailit kepada PT tersebut, PT yang bersangkutan telah dalam proses likuidasi yang berarti PT tersebut hendak bubar? Oleh karena itu, penulisan judul ini adalah untuk mengkaji lebih lanjut bagaimanakah apabila hal itu terjadi, dan untuk mengetahui apakah yang harus dilakukan apabila hal tersebut memang terjadi.

D.     Tujuan penulisan yang hendak dicapai dalam penyusunan skripsi ini adalah :
1.      Untuk mengetahui Bagaimana PT dalam proses Likuidasi
2.      Untuk mengkaji dan menganalisis apakah PT ketika dalam Likuidasi dapat dipailitka
E.     Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini secara keseluruhan menggunakan beberapa hal berikut ini:
1.        Pendekatan Masalah
Pcndekatan masalah yang digunakan dalam proses penyusunan skripsi ini adalah Statute Approach, Conceptual Approach, dan Case Approach. Statute Approach atau pendekaian undang-undang adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk mengkaji sesuai permasalahn  permasai dari segi hukum dengan mendasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas yaitu mengenai kepailitan dan Lkuidasi dalam proses pembubaran suatu PT.


Kemudian Conceptual Approach atau pendekatan konseptual adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk mengkaji permasalahan dari segi konsep hukum dengan menggunakan prinsip-prinsip hukum yang selama ini telah didapat dan ditemukan, serta pendapat atau pandangan-pandangan para sarjana hukum mengenai konsep kepailitan dan Hkuidasi suatu PT, serta prinsip-prinsip apa saja yang terdapat di dalamnya.
Sedangkan Case Approach atau pendekatan kasus adalah pendekatan yang digunakan untuk mengkaji permasalahan tersebut dari segi kasus di dunia nyata yang telah terjadi dan telah diputus yang berkekuatan hukum tetap {inkracht van gewijsde). Di dalam putusan tersebut terdapat pertimbangan-pertimbangan hukum dari majelis hakim untuk menjatuhkan putusan terhadap permasalahan yang bersangkutan tersebut.
2.  Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu metode yang menjelaskan suatu permasalahan dengan menguraikan dan memaparkan yang kemudian dianalisa sesuai dengan pcraturan pcrundang-undangan yang berlaku dan teori hukum. konsep hukuni, scrlu teori atau prinsip-prinsip hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.

F.     Tinjauan Pustaka
Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini adalah pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya, Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.[5]
Pailit dapat diartikan debitor dalam keadaan berhenti membayar hutang karena tidak mampu. Kata Pailit dapat juga diartikan sebagai Bankcrupt. Kata Bankrupt sendiri mengandung arti Banca Ruta, dimana kata tersebut bermaksud memporak-porandakan kursi-kursi, adapun sejarahnya mengapa dikatakan demikian adalah karena dahulu suatu peristiwa dimana terdapat seorang debitor yang tidak dapat membayar hutangnya kepada kreditor, karena marah sang kreditor mengamuk dan menghancurkan seluruh kursi-kursi yang terdapat di tempat debitor.[6]
            Sedangkan Pengertian Kepailitan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 adalah sita umum terhadap semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh seorang kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana yang diatur oleh Undang-undang. Kartono sendiri memberikan pengertian bahwa kepailitan adalah sita umum dan eksekusi terhadap semua kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditornya.
Terminologi Kepailitan dalam Sistem hukum Anglo-Saxon dikenal dengan kata Bankrupct adapun hal itu berarti keadaan tidak mampu membayar hutan dimana semua harta kekayaan yang berhutang diambil oleh penagih atau persero-persero
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “pembubaran perusahaan sebagai badan hukum yang meliputi pembayaran kewajiban kepada para kreditor dan pembagaian harta yang tersisa kepada para  pemegang saham (Persero)”. Menurut Kamus Perbankan, likuidasi adalah pembubaran perusahaan dengan penjualan harta perusahaan, penagihan piutang, dan perlunasan utang serta penjelasan sisa harta atau utang antara para pemilik.[7]Sedangkan dalam Kamus Istilah Perbankan Indonesia, likuidasi bank adalah tindakan pemberesan berupa penyelesaian seluruh hak dan kewajiban bank sebagai akibat pembubaran badan hukum bank.[8] Likuidasi dilakukan dengan cara pencairan harta dan/atau penagihan piutang kepada para debitur, diikuti dengan pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan tersebut. Selain itu, likuidasi bank dapat dilakukan dengan cara penjualan seluruh harta dan pengalihan kewajiban kepada pihak lain dengan persetujuan Bank Indonesia.[9]
Menurut Zainal Asikin dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perbankan di Indonesia, menyebutkan likuidasi sebagai suatu tindakan untuk membubarkan suatu perusahaan atau badan hukum. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, “Likuidasi adalah tindakan pemberesan terhadap harta kekayaan atau aset (aktiva) dan kewajiban-kewajiban (pasiva) suatu perusahaan sebagai tindak lanjut dari bubarnya perusahaan.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, likuidasi merupakan proses membubarkan perusahaan sebagai badan hukum yang meliputi pembayaran kewajiban kepada para kreditor dan pembagian harta yang tersisa kepada para pemegang saham (persero).[10] Definisi ini hampir sama dengan definisi liquidation dalam kamus hukum ekonomi ELIPS yang memberikan pengertian likuidasi sebagai pembubaran perusahaan diikuti dengan proses penjualan harta perusahaan, penagihan piutang, pelunasan utang, serta penyelesaian sisa harta atau utang antara pemegang saham.
Black’s Law Dictionary memberikan definisi likuidasi : “Liquidation is (1) the act of determining by agreement or by litigation the exact amount of something (as debt or damages) that before was not certain (2) The act of settling a debt by payment or other satisfaction (3) The act or process of converting asets into cash, to settle debts.\ .
Definisi tersebut di atas  menyatakan  bahwa yang dimaksud dengan likuidasi adalah :
1)      Tindakan menentukan dengan kesepakatan atau melalui litigasi jumlah secara pasti (sebagai hutang atau biaya) yang sebelumnya tidak pasti;
2)      Tindakan menyelesaikan hutang piutang dengan cara pembayaran ataupun cara lain;
3)      Tindakan atau proses penggantian aset menjadi kas/uang tunai untuk menyelesaikan hutang piutang.
Menurut McPherson sebagaimana dikutip oleh Francisca PoPeraturan Pemerintahy Melati, pengertian likuidasi dapat dilihat dalam kutipan berikut ini :[11]
Liquidation or winding up is a process whereby the asets of a company are collected and realized, the resulting proceeds are aPeraturan Pemerintahlied in discharging all its debts and liabilities, and any balance which remains after paying the costs and expencses of winding up is distributed amount the members according to their rights and interests or otherwise dealth with as the constitution of the company directs.”
Definisi di atas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan likuidasi atau penutupan adalah suatu proses dimana aset-aset perusahaan dikumpulkan,  hasil  pengumpulan tersebut digunakan untuk memenuhi  hutang dan kewajiban, dan saldo yang tersisa atas pembayaran beban dan biaya dari penutupan akan diberikan kepada pemegang saham.
Menurut Rachmadi Usman, Liquidation adalah pembubaran perusahaan diikuti dengan proses penjualan harta perusahaan, penagihan piutang, pelunasan utang, serta penyelesaian sisa harta atau utang antara para pemegang saham.[
Sedangkan dalam “Encyclopedia of Banking and Finance”, istilah likuidasi mempunyai 3 (tiga) arti :
1.        Pertama, likuidasi berarti realisasi tunai, artinya penjualan kepemilikan saham, obligasi atau komoditas baik untuk memperoleh laba maupun mengantisipasi ataupun menghindari kerugian-kerugian karena harga lebih rendah. Biasanya likuidasi merujuk kepada lebih memperpanjang dari suatu periode yang telah ditentukan. Dalam hal seperti ini, bentuk-bentuk likuidasi merupakan bagian dari siklus bisnis yang terutama ditandai dengan jatuhnya harga, kegagalan usaha dan tidak aktifnya usaha.
2.        Kedua, likuidasi berarti pengakhiran suatu perusahaan dengan cara pengkonversian aset-asetnya menjadi uang tunai. Pendistribusian hasil dari pengkonversian tersebut pertama kepada para kreditur sesuai dengan urutan yang diutamakan dan sisanya kalau ada kepada para pemilik perusahaan tersebut sesuai dengan proporsi kepemilikannya.
3.        Ketiga, likuidasi berarti suatu cara penyembuhan yang tersedia bagi debitur yang tidak bisa membayar kewajiban-kewajibannya atau disebut Insolvensy. Likuidasi mempunyai tujuan dasar berupa realisasi dari aset-asetnya dan kewajiban-kewajibannya, ketimbang kesinambungan usaha sebagaimana yang bisa terjadi dalam suatu reorganisasi, Insolvensy menunjuk kepada ketidakmampuan debitur untuk membayar kewajiban-kewajibannya yang sudah jatuh tempo.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dalam Pasal 37 dan 37A maupun penjelasannya tidak memberikan perumusan istilah, definisi, karakter (ciri-ciri), dan struktur hukum dari “likuidasi”. Apabila diteliti, maka pengertian likuidasi tidak terbatas pada pencabutan izin usaha bank akan tetapi lebih luas lagi termasuk tindakan pembubaran (outbinding) badan hukum bank dan penyelesaian atau pemberesan (vereffening) seluruh hak dan kewajiban bank sebagai akibat dibubarkannya badan hukum bank tersebut atau dari bank yang dilikuidasi sesuai peraturan perUndang-undangan yang berlaku dan terakhir dilakukan penyelesaian terhadap seluruh hak dan kewajiban yang ditimbulkan oleh bank yang dilikuidasi tersebut. Dengan demikian istilah likuidasi ini mencakup lembaga pembubaran dan pemberesan.[9][12]
Dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank serta Pasal 1 huruf h Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Tentang Tata Cara Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank Umum Nomor 32/53/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999, dinyatakan bahwa likuidasi bank adalah tindakan penyelesaian seluruh hak dan kewajiban bank sebagai akibat pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum bank.
Sedangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang yaitu pasal 56, tidak mempergunakan istilah “likuidasi”, tetapi menggunakan dua istilah yang satu sama lain berkaitan, yaitu “pembubaran” dan “pemberesan”. BW Belanda (Pasal 19 ayat (4)) mempergunakan istilah pembubaran (outbinding) dan pemberesan (vereffening). Dalam sistem Common Law (Banking Act Singapore 1985), dipergunakan istilah “winding up” di samping “liquidation”.  Likuidasi atau pembubaran juga diartikan sebagai pemberhentian kegiatan perseroan sebagai akibat dari berakhirnya tujuan perseroan. Pembubaran tidak berarti berakhirnya eksistensi perseroan, dimana perseroan sebagai subyek hukum yang mempunyai aktiva dan pasiva yang setelah deklarasi pembubarannya diucapkan eksistensinya tetap ada tetapi dalam kondisi likuidasi (pembubaran). Hak yang dimiliki perseroan harus direalisasikan dan kewajibannya harus dipenuhi dan selama kondisi likuidasi, perseroan tidak menjalankan tugas biasa, tetapi terbatas yaitu khusus untuk membereskan hak dan kewajiban itu. Eksistensi perseroan tetap ada sepanjang diperlukan untuk pemberesan.[13]
G.    Sistematika Pertanggungjawaban
Sistemutika di dalam penulisan skripsi ini meliputi empat bab, yang di dalam masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab yang menjelaskan mengenai materi permasalahan yang dibahas dan masing-masing bab saling berkaitan satu sama lain. Hal ini ditujuka agar penulisan skripsi menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Bab I           : adalah bab pendahuluan yang di dalamnya berisi gambaran secara gar is besar tentang isi dari permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini yaitu mengenai latar belakang permasalahan dan rumusan masalahnya, penjelasan judul, alasan pemilihan judul, tujuan penulisan, metode penulisan, serta pertanggungjawaban sistematika penulisan skripsi ini.

Bab II    :adalah bab yang menjelaskan pembahasan dari rumusan masalah pertama yang ada. Bab II ini terdiri atas bab mengenai status hukum PT dalam likuidasi, dimana dalam bab ini terdiri atas sub bab badan hukum PT, Pembubaran PT, Likuidasi PT yang dibubarkan, dan Eksistensi PT dalam likuidasi.
Bab III      : adalah bab yang di dalamnya menjelaskan pembahasan dari rumusan masalah yang kedua. Dalam bab III ini terdiri atas bab mengenai kepailitan terhadap PT dalam likuidasi yang dalam bab tersebut terdiri atas sub bab permohonan PT dalam likuidasi, perbedaan pembubaran PT dengan likuidasi dan dengan kepailitan, dan kasus kepailitan PT dalam likuidasi.

Bab IV     : merupakan bab terakhir yang menjadi bab penutup dalam skripsi ini yang terdiri atas kesimpulan dari penulisan skripsi ini seita saran-saran dari penulis yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dan diharapkan dapat berguna dan menambah pengetahuan bagi para pembaca.





[1]  M. Hadi Shubhan, (2009) Hukum Kepailitan : Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan,
[2] M. Hadi Shuban, Hukum kepailitan Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, kencana perenda Media Group, Jakarta, 2009, h, 5-6
[3] Ibid h.2
[4] Ibid h.168
[6] Siti Soemarti Hartono 2008

[8]  Tim Penyusun Kamus Perbankan Indonesia, Kamus Perbankan, Jakarta, Institut Bankir Indonesia, 1980, hlm. 77
[9] Z. Dunil, Kamus Istilah Perbankan Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2004, hlm. 80
[10] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1990, hlm. 523. Definisi tersebut sama dengan definisi mengenai
[11] Fransisca PoPeraturan Pemerintahy Melati, Likuidasi Bank dan Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpan Dana, Jakarta, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, 2004, hlm.
[12] Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika,
[13] Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Cet. I, Bandung, Alumni, 1994, hlm. 124.

0 comments:

Post a Comment