| BLOG HUKUM

Sedang Online

Thursday 11 April 2013

ASAS CABOTAGE
(Inpres No.5 Tahun 2005)

Berlakunya United Nation Conventian On The Law Of The Sea (UNCLOS 1982) konfigurasi perairan Indonesia meliputi ; perairan pedalaman (internal water), perairan kepulauan (archipelagic water), laut wilayah (territorial sea), zona tambahan (contiguous zone), landas kontinen (continental shelf) dan zona ekonomi eksklusif (zona economi exclusive). Wilayah laut yang menjadi kedaulatan Indonesia adalah Perairan kepulauan seluas 2,8 juta km2 dan laut wilayah seluas 0,366 juta km2. sedangkan zona ekonomi esklusif seluas 2,7 juta km2. dengan demikian luas wilayah yurisdiksi laut nasional Indonesia adalah 5,8 juta km2. Bagi bangsa Indonesia, laut dan perairan secara alami menjadi lingkungan kehidupan yang mempunyai arti/fungsi sebagai : (1) media pemersatu bangsa, (2) media perhubungan (3) media penggalian sumberdaya alam dan (4) media pertahanan (Soebijanto, 2004: 51-52).
Kenyataan geografis Indonesia merupakan negara kepulauan, dimana antara pulau satu dengan pulau lainya dihubungkan oleh laut dan selat. Gambaran ini setidaknya menempatkan sektor kelautan menjadi sektor penting. Dari sudut ekonomi pentingnya laut dapat dilihat dari : (1) potensi sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya dan (2) potensi pemanfaatan laut sebagai prasarana transportasi antar pulau (Hamid, 2004:28). Dari kedua potensi tersebut, potensi kedua yakni pemanfaatan laut sebagai prasarana transportasi menjadi potensi yang paling penting jika berbicara masalah pelayaran nasional. Karena angkutan laut sangat dominan dan memiliki nilai strategis yang mendasar dalam arti ekonomi bagi kehidupan bangsa dan negara Republik Indonesia (Sinaga, 1995:20).
Pentingnya trasportasi tercermin pada penyelenggaraannya yang mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara serta semakin meningkatnya kebutuhan jasa angkutan bagi mobilitas manusia dan barang dalam negeri serta dari dan ke luar negeri. Di samping itu, traspotarsi juga berperan sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak bagi pertumbuhan daerah yang berpotensi namun belum berkembang, dalam upaya peningkatan dan pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya.
Kelancaran transportasi, dapat mendukung dan membantu pemantapan kawasan wilayah Indonesia dalam rangka perwujudan wawasan nusantara dan membantu pencapaian sasaran pembangunan nasional di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan serta merangsang pembangunan daerah melalui pengembangan potensi ekonomi (Siregar, 1981:118).
Peranan transportasi dalam perekonomian Indonesia cukup signifikan. Sebagai contoh pada tahun 2002, lebih dari 99 persen kegiatan ekspor-impor sebesar 296 juta ton dan 95 persen dari ekspor-impor tersebut senilai US $ 88,4 miliar diangkut dengan mengunakan transportasi laut. Potensi pasar yang begitu besar bagi armada pelayaran nasional di angkutan ekspor-impor sebesar 296 juta ton dan juga angkutan dalam negeri sebanyak 143,4 juta ton, belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh armada pelayaran nasional. (RPJMN, 2005:403). Melihat kondisi pelayaran nasional yang demikian, maka optimalisasi potensi laut sebagai prasarana transportasi/pelayaran menjadi sangat penting untuk dilakukan, yang setidaknya melibatkan kepaduan peran antara pemerintah sebagai pembuat keputusan (decision maker) dan perusahaan pelayaran nasional yang dipercaya melakukan berbagai aktivitas pelayaran di Indonesia.
Dalam rangka menjamin terlaksananya pelayaran nasional dan kemajuan pelayaran nasional, pemerintah sebagai pembuat keputusan telah mengeluarkan beberapa peraturan perundangan dalam berbagai bentuk, di antaranya adalah : PP 17/1988 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut, yang kemudian diganti PP 82/1999 tentang Angkutan di Perairan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM. 33 Tahun 2001 tentang Penyelengaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut, Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Indonesia dengan menerapkan asas cabotage dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor : KM. 71 Tahun 2005 pengangkutan barang/muatan antarpelabuhan laut di dalam negeri.
Asas cabotage merupakan sebuah asas yang mengandung makna bahwa muatan dalam negeri harus diangkut dengan menggunakan jasa angkutan dari kapal-kapal nasional milik perusahaan nasional (Hamid, 2004:31). Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memberikan perlindungan dan usaha dalam negeri serta mengurangi ketergantungan pada pihak asing (Ibid, 2004:32). Namun terpuruknya peran armada pelayaran nasional dalam mengangkut muatan untuk angkutan dalam negeri, maka pemerintah memberi kelonggaran/mengijinkan kepada perusahaan angkutan laut nasional untuk menggunakan kapal asing dengan berbagai persyaratan, walaupun dalam undang-undang dan peraturan lainya secara eksplisit diberlakukan asas cabotage.
Dikeluarkan Inpres No.5 Tahun 2005 dan Permenhub No. KM 71 Tahun 2005 secara tegas dinyatakan bahwa muatan antar pelabuhan di dalam negeri harus diangkut dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan laut nasional. Implementasi asas cabotage sesuai Inpres No 5 Tahun 2005 tersebut harus dilaksanakan dengan optimal untuk melindungi pelayaran dalam negeri dan perekonomian Indonesia

0 comments:

Post a Comment