UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG
P E R K A W I N A N
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
bahwa sesuai dengan falsafah
Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional perlu adanya
Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.
Mengingat:
- Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1)
dan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IVIMPR 1
1973.
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik lndonesia.
M E M U T U S K A N :
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN
BAB I
DASAR PERKAWINAN
Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Pasal 2
- Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
- Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang- undangan yang berlaku.
Pasal 3
- Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya
boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami.
- Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak- pihak
yang bersangkutan.
Pasal 4
- Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari
seorang, sebagaimana tersebut dalani Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini,
maka ia wajib rnengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat
tinggalnya.
- Pengadilan dimaksud dalani ayat (1) pasal ini hanya
memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari
seorang apabila :
- isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
isteri;
- isteri mendapat eacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disembuhkan;
- isteri tidak dapat melahirkan keturunan
Pasal 5
- Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
- adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
- adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
- adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anak mereka.
- Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal
ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya
tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang
perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
BAB II
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Pasal 6
- Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua
calon mempelai.
- Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang
tua.
- Dalam hal salah seorang dari kedua orangtua telah meninggal
dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
- Dalam hal kedua orang tua telah meninggal duriia atau
dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin
diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai
hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih
hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
- Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang
yang disebut dalam ayat (2),(3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau
lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam
daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas
permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu
mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
- Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5)
pasal ini berlaku sepanjang hukum rnasing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 7
- Perkawinan hanya diizinkanjika pihak pria sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 (enam belas) tahun.
- Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini
dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk
oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
- Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau
kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini,
berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini
dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang
yang :
- berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah
ataupun ke atas;
- berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping
yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara
seorang dengan saudara neneknya;
- berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu
dan ibu/bapak tiri;
- berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak
susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
- berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi
atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suamiberisterilebih dari
seorang;
- mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan
lain yang berlaku, dilarang kawin.
Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali
perkawinan dengan oranglain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang
tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 10
Apabila suami dan isteri yang telah
cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya,
maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.
Pasal 11
- Bagi seorangwanitayangputus perkawinannya berlakujangka
waktu tunggu.
- Tenggang waktujangka waktu tunggu tersebut ayat (1)
akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lehih lanjut.
Pasal 12
Tata cara pelaksanaan perkawinan
diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
BA B III
PENCEGARAN PERKAWINAN
Pasal 13
Perkawinan dapat dicegah, apabila
ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 14
- Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga
dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah,
wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang
berkepentingan.
- Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga
mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon
mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut
nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya,
yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1)
pasal ini.
Pasal 15
Barangsiapa karena perkawinan
dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar
masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak
mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 16
- Pejabatyangditunjukberkewajibanmencegahberlangsungnya
perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.
- Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut
pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan
perundang-undangan.
Pasal 17
- Pencegahan perkawinari diajukan kepada Pengadilan dalam
daerah hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan
juga kepada pegawai pencatat perkawinan.
- Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenni
permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh
pegawai pencatat perkawinan.
Pasal 18
Pencegahan perkawinan dapat dicabut
dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan
pada Pengadilan oleh yang mencegah.
Pasal 19
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan
apabila pencegahan belum dicabut.
Pasal 20
Pegawai pencatat perkawinan tidak
diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia
mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan
perkawinan.
Pasal 21
- Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa
terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini maka
ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
- Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu
pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan
akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai
dengan alasan-alasan penolakannya.
- Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan
permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pancatat
perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan
keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas.
- Pengadilanakanmemeriksaperkaranyadenganacara singkat
dan akanmemberikanketetapan, apakahiaakanmenguatkan penolakan tersebut
ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.
- Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika
rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para
pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud
mereka.
BAB IV
BATALNYA PERKAWINAN
Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan, apabila
para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 23
Yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan yaitu:
- Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari
suami atau isteri;
- Suami atau isteri;
- Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum
diputuskan;
- Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16
Undang- undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum
secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah
perkawinan itu putus.
Pasal 24
Barangsiapa karena perkawinan masih
terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih
adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan
tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 25
Pormohonan pembatalan perkawinan
diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan
atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.
Pasal 26
- Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat
perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang
dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan
pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari
suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
- Hak untuk membatalkan olch suami atau isteri
berdasarkan alasan dalam ayat (1) pdsal ini gugur apabila mereka telah
hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte
perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang
dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Pasal 27
- Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang
melanggar hukum.
- Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan
pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi
salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
- Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah
sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isten, dan tidak mempergunakan
haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 28
- Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan
Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan.
- Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
- Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
- Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik,
kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas
adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
- Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b
sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan
tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
BAB V
PERJANJIAN PERKAWINAN
Pasal 29
- Pada waktu atau sebelum pelrkawinan dilangsungkan,
kedua pihak atas persetujuan bersama dapatmengadakan perjanjian tertulis
yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
- Perjanjiantersebut tidak dapat disahkan bilamana
melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
- Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan.
- Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak
dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk
merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
Pasal 30
Suami isteri memikul kewajiban yang
luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat.
Pasal 31
- Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat.
- Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum.
- Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah
tangga.
Pasal 32
- Suami isteri harus mempunyai tempest kediaman yang tetap.
- Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1)
Pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.
Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta
mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu
kepada yang lain.
Pasal 34
- Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
- Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga
sebaik-baiknya.
- Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya
masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
BAB VII
HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN
Pasal 35
- Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama.
- Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan,
adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.
Pasal 36
- Mengenai harta bersama suami atau isteri dapat
bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
- Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukurn mengenai harta
bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
BAB IX
KEDUDUKAN ANAK
Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Pasal 43
- Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
- Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya
akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 44
- Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang
dilahirkan oleh isterinya bila mana ia dapat membuktikan bahwa isterinya
telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.
- Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya
anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
BAB X
HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA
DAN ANAK
Pasal 45
- Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya.
- Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal
ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban
mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal 46
- Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak
mereka yang baik.
- Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut
kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila
mereka itu memerlukan bantuannya.
Pasal 47
- Anak yang belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas)
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan
orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
- Orangtua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan
hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan
memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya
yang belum berumur 18 (delapanbelas) tahun atau belum melangsungkan perkawinan
kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Pasal 49
- Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut
kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu
atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke
atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang,
dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
- la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
- la berkelakuan buruk sekali.
- Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih
tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaankepada anak tersebut.
BAB XI
PERWALIAN
Pasal 50
- Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
- Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan
maupun harta bendanya.
Pasal 51
- Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang
menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat
atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.
- Wali sedapat-dapatnya diambil dari kcluarga anak
tersebut atau orang lain yang sudah dewasa berpikiran sehat, adil, jujur
dan berkelakuan baik.
- Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya
dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan
anak itu.
- Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada
di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua
perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.
- Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang
berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena
kesalahan atau kelalaiannya.
Pasal 52
Terhadap wali berlaku juga pasal 48
Undang-undang ini.
Pasal 53
- Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal
yang tersebut dalam Pasal 49 Undang-undang ini.
- Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain
sebagai wali.
Pasal 54
Wali yang telah menyebabkan kerugian
kepada harta benda anak yang dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau
keluarga anak tersebut dengan keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat
diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.
BAB XII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Pertama
Bagian Kesatu
Pembuktian asal usul anak
Pasal 55
- Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan
akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang
berwenang.
- Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (l) pasal ini
tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul
seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan
bukti-bukti yang memenuhi syarat.
- Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal
ini maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum
Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang
bersangkutan.
Bagian Kedua
Perkawinan di luar Indonesia.
Pasal 56
- Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara
dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan
warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut, hukum yang berlaku
di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan, bagi warganegara
Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
- Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu
kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan
di Kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
Bagian Ketiga
Perkawinan Campuran.
Pasal 57
Yang dimaksud dengan perkawinan
campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan
dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia
Pasal 58
Bagi orang-orang yang berlainan
kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh
kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan
kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang
kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
Pasal 59
- Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat
perkawinan atau putusannya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik
mengenai hukum publik maupun hukum perdata.
- Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia
dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini.
Pasal 60
- Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum
terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang
berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.
- Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam
ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk
melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum
yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan,
diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
- Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan
surat keterangan itu, maka atas perniintaan yang berkepentingan Pengadilan
memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan
banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu
beralasan atau tidak.
- Jika pengadilan memutuskan hahwa penolakan tidak
beralasan maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut
ayat (3)
- Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan
tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan
dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.
Pasal 61
- Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang
berwenang.
- Barangsiapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa
memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat
keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam pasal 60
ayat (4) Undang- undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-
lamanya 1 (shtu) bulan.
- Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan
sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti
keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3
(tiga) bulan dan dihukum jabatan.
Pasal 62
Dalam perkawinan campuran kedudukan
anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini.
Bagian Keempat
Pengadilan
Pasal 63
- Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini
ialah :
- Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.
- Pengadilan Umum bagi lainnya.
(2) Setiap Keputusan Pengadilan
Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Untuk perkawinan dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang ini
berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah.
Pasal 65
- Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang
baik berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah
ketentuan-ketentuan berikut :
- Suami wajib members jaminan hidup yang sama kepada semua
isteri dan anaknya.
- Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak
atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua
atau berikutnya itu terjadi.
- Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama
yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.
- Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih
dari seorang menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka
berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 66
Untuk perkawinan dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka
dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.’1933 No. 4), Peraturan
Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan
peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur
dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 67
- Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkannya, yang pelaksanaannya, secara efektif lebih lanjut akan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
- Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan
pengaturan pelaksanaan, diatur libel lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Agar supaya setiap orang dapat
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.